Sunday, July 29, 2007

Sekedar realita Jakarta


Kemarin saya bersama teman-teman pergi kebandung untuk kembali kekampus gajah tercinta. Kami berlima membawa dua mobil, jadi di-split 2 dan 3 orang. Saya kebagian menemani teman berdua dimobilnya.
Jam 5.30 sore kami berangkat dari kantor dibilangan SCBD. Setelah berembuk jala mana yang baiknya dilewati, kami sepakat masuk tol lewat pintu tol dalam kota Pancoran. Berarti saya dan teman saya yang Cuma berdua butuh seorang joki untuk lewat 3 in 1. Tidak baik memang, tapi sekali-sekali bukan dosa juga untuk memberi uang pada orang kecil yang sekedar berjuang untuk makan lewat cara yang kurang intelek. Setelah keluar wilayah SCBD berhentilah kami untuk menaikkan seorang joki kemobil silver itu.
Joki yang masuk adalah seorang perempuan muda dengan perawakan kecil. Rambutnya cokelat, terbakar matahari. Baru masuk mobil dia berceloteh tentang petugas keamanan yang tadi sedang berusaha mengusirnya. Teman saya yang membawa mobil, katakanlah si T (teman), yang memang orangnya talkative dan senang ngobrol dengan siapapun, melayani celotehan si joki. Jadilah dia senang dan seperti membuka diri pada kami.
Berawal dari basa-basi bahwa jalanan seperti biasa agak mace, meskipun dia ngaku sudah agak lama nggak “kerja”. Kenapa?, tanya si T. ‘Baru bebas aja,mas’, jawab si joki. Wah, ternyata si mbak baru aja bebas dari tahanan selama kurang lebih 3 minggu dengan alasan penahanan “melanggar peraturan dan menyebabkan ketidaktertiban jalan raya”. Waduh, agak bergidik.
‘Lumayan ya,gimana rasanya?’ tanya T. ‘Yah nggak enak lah,kebayang nggak 3 minggu didalem sel,ninggalin keluarga.’, kata joki. ‘Biasanya paling Cuma beberapa hari kalo si komandannya lagi nggak ada, tapi kemaren itu apes kali, jadi ditahan 3 minggu, itu juga mesti bayar uang tebusan 50.000, padahal duit darimana coba?’, tambahnya. ‘Emang kalo nggak ada komandannya bakal dilepasin ya?’ tanya T. ‘Iya, dia juga males soalnya nahan orang lama-lama, kan banyak yang keluar masuk, repot kali. Kalo sama anak buahnya juga tebusannya lebih murah.’, kata joki.
Hmm! Jadi ternyata para joki ini sudah keluar masuk sel setiap kali apes kena penertiban, tapi berhubung petugas nggak tahu juga mau diapakan mereka ini, ya dimintai saja uang tebusan lalu dibiarkan pergi lagi. Parah ya. Sudahlah terbukti nggak menimbulkan efek jera bagi mereka, kalau setiap penertiban paling tidak kena 5 orang joki kan bisa dapat minimal 50.000. Komandannya ternyata lebih parah, satu orang joki dibebaskan dengan tebusan 50.000, memang ditahan dulu 3 minggu, tapi saya sih belum pernah dengar ada peraturan tertulis yang mendenda joki. Mungkin ada yang tahu?

‘Terus keluarga gimana?’ tanya T, mengingat saya tidak berbicara sama sekali saat itu. ‘Ya kangen. Kasian anak saya sih, suami juga paling.’, sahutnya enteng. ‘Oh sudah punya anak, kelihatan masih kecil padahal.’, kata T. ‘Oh saya uda 20.’, balas joki.
20 tahun!! Dan dia sudah berkeluarga. Hidup dijakarta sebagai joki 3 in 1! Saya dan T kontan saling pandang. Tatapan kami masing-masing membahasakan “yaampun, coba bandingin ama kita yang masih mikirin kuliahan!!”

‘Anak saya uda lumayan gede. Nikahnya umur 14 tahun. Sebenernya “isi” dulu sih, baru dikawinin, dijodohin. Kebeneran sama-sama suka. Jadi ya sampe sekarang. Tapi kalo dirumah berantem mulu!’ celoteh mbak joki tanpa sadar kami masih “stunned”.
Huwaw! Gila! Sudahlah masih seumur kami dan punya anak, ternyata kawin produk MBA (married by accident, red =p), DIUMUR 14 TAHUUUN..!!! Saya dan T makin jengah dan lekat-lekat saling pandang.

Coba saya tanya, apa sih yang biasanya saya lakukan waktu berumur 14 tahun? Main PS, pusing mikirin PR yang belum selesai (untuk sebagian orang), memikirikan SMA mana yang mau dimasuki. Ada yang mungkin sedang getol-getolnya main ke mall dan baca majalah remaja. Wah, kecilnya dunia saya.
Setelah hampir mencapai pintu tol dalam kota kami berhenti sebentar untuk menurunkan mbak joki dan memberinya uang. Ia pergi dengan senyum dan membanting pintu sambil berterima kasih.

Walau mobil langsung berangkat lagi, kami sempat saling diam beberapa saat. Saat T akhirnya memulai pembicaraan, dia memulai dengan topik yang “dia banget”.
‘Kepikiran nggak, al, kalo orang kaya dia, pendidikan kaya apa yang dia dapet emang dari orang tuanya? Sampe bisa begitu! Dan kepikiran lagi nggak, pendidikan seperti apa yang nanti bakal dia kasih ke anaknya? Kawin muda emang biasa sih dikalangan orang yang nggak tinggal dikota, tapi nggak MBA juga, kan. Ini gawat dah menurut gw.’

Benar. Saya sendiri merinding setiap kali teringat dan tanpa sadar mencoba merekonstruksi apa yang bisa membuat anak umur 14 tahun melakukan hal itu. Saya jadi takut sendiri. Huaaa...
Itu tadi sedikit realita Jakarta, teman-teman..

Tuesday, July 17, 2007

12 days of freedom

mungkin freedom bukan kata yang tepat,, tapi.. bayangkanlah 12 hari tanpa :
# 1. bangun dipagi hari dengan pikiran “apa dia sudah bangun ya..?”
# 2. terdiam disiang hari dengan pikiran “kenapa dia belum sms juga sih?”
# 3. sore-sore marah dengan pikiran “mana sih ni orang katanya mau jemput?!”
# 4. malam-malam resah dengan pikiran “besok bisa ketemu lagi nggak ya..?”

habis, pergilah dia ke sebuah plant off-shore perusahaan minyak dijakarta, dalam rangka memenuhi kewajiban 2 sks, KP. Berlokasi di selat Marunda, entah berapa kilometer kearah utara jawa. Jauh dari jangkauan sinyal profider GSM manapun. Yang berarti = dia tidak akan bisa dihubungi, suka ataupun tidak.
Mungkin aneh ya, tapi setidaknya 12 hari kedepan hati bisa sedikit tenang dan nggak berpikiran yang macam-macam.

Ketenangan yang anehnya saya tunggu.
Jarak yang anehnya saya tunggu.

Sampai nanti, ya,
12 hari lagi,,